Menjelang akhir tahun 2024, emiten di Indonesia kembali menggeliat di pasar modal. Setelah sempat bersikap wait and see akibat ketidakpastian ekonomi global, kini berbagai perusahaan gencar mencari pendanaan melalui beragam instrumen. Baik melalui Initial Public Offering (IPO), rights issue, private placement, penerbitan obligasi, hingga pinjaman bank, aksi korporasi menjadi pusat perhatian untuk mendukung ekspansi di tengah dinamika ekonomi.
Lonjakan IPO di Bursa Efek Indonesia
IPO menjadi primadona di tahun ini. Sepanjang 2024, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menyambut 39 emiten baru yang mencatatkan sahamnya. Angka ini diprediksi mencapai 43 emiten hingga tutup tahun. Beberapa IPO bahkan menyedot perhatian publik dengan nilai jumbo, seperti PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) dan PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) alias Mr. DIY. Keduanya berpotensi menghimpun dana lebih dari Rp 4 triliun, menandakan antusiasme tinggi terhadap pendanaan berbasis ekuitas.
IPO menjadi pilihan strategis bagi emiten yang ingin meminimalkan beban utang. Dengan biaya pendanaan yang dikeluarkan di awal proses listing, perusahaan dapat memanfaatkan dana segar untuk ekspansi tanpa menambah beban bunga tetap, sebuah keuntungan yang signifikan di tengah suku bunga Bank Indonesia yang masih bertahan di level 6%.
Strategi Alternatif: Rights Issue dan Private Placement
Bagi perusahaan yang sudah melantai di bursa, rights issue dan private placement menjadi opsi menarik untuk menambah modal. Sepanjang 2024, lebih dari 25 emiten memanfaatkan skema ini. Meskipun menambah jumlah saham beredar, langkah ini menghindarkan perusahaan dari risiko tambahan beban utang berbunga. Namun, keputusan ini tetap harus mempertimbangkan risiko dilusi saham dan kondisi pasar yang fluktuatif.
Penerbitan Obligasi: Stabil, Tapi Terbebani Suku Bunga
Penerbitan obligasi tetap menjadi pilihan terutama untuk pendanaan proyek besar seperti infrastruktur atau energi. Obligasi menawarkan stabilitas melalui kupon tetap, namun suku bunga tinggi di 2024 memaksa emiten memberikan kupon kompetitif, yang pada akhirnya meningkatkan biaya pendanaan. Oleh karena itu, perusahaan cenderung selektif menggunakan instrumen ini, terutama untuk proyek dengan prospek pengembalian yang stabil dan jangka panjang.
Pinjaman Bank: Pilihan Terbatas untuk Kebutuhan Mendesak
Sementara itu, pinjaman perbankan menjadi kurang menarik tahun ini. Suku bunga tinggi dan persyaratan kredit yang semakin ketat membuat perusahaan enggan menambah beban keuangan melalui utang jangka panjang. Namun, instrumen ini masih relevan untuk kebutuhan mendesak atau dana jangka pendek, mengingat prosesnya yang relatif cepat dibandingkan penerbitan obligasi atau aksi korporasi lainnya.
Kombinasi Instrumen untuk Diversifikasi Risiko
Di tengah tantangan suku bunga tinggi dan ekonomi global yang tidak menentu, banyak perusahaan mengambil pendekatan kombinasi. Diversifikasi sumber pendanaan membantu mengoptimalkan struktur modal sekaligus memanfaatkan peluang pasar. Pasar modal menjadi pilihan utama untuk pendanaan jangka panjang, sementara obligasi dan pinjaman bank digunakan secara strategis untuk memenuhi kebutuhan spesifik.
Kesimpulan: Tahun Ekspansif Tanpa Beban Utang Berlebih
Tahun 2024 menandai tren pendanaan yang lebih cenderung pada aksi korporasi berbasis ekuitas. Pilihan seperti IPO, rights issue, dan private placement menjadi unggulan karena lebih efisien dari segi biaya di tengah tingginya suku bunga. Dengan pendekatan ini, perusahaan tetap dapat melakukan ekspansi tanpa terbebani utang berbunga tinggi, mencerminkan adaptasi strategis emiten dalam menghadapi dinamika ekonomi.
Tahun ini, pasar modal menjadi saksi utama semaraknya langkah strategis perusahaan Indonesia dalam memperkuat posisi mereka di tengah tantangan dan peluang yang ada.
——————————————————————————————————————————————-
Demikian artikel berita ini dibuat, semoga bisa membantu teman-teman dalam mengambil keputusan berinvestasi. Untuk buka rekening saham & join group diskusi silakan klik link berikut https://join.most.co.id/mitra/mt-haryono